Langsung ke konten utama

MAZMUR 42,1-6

JIWAKU HAUS KEPADA ALLAH

Saudara-saudara yang terkasih,
Terkadang dalam kehidupan ini, kita bisa saja mengalami masalah atau  pergumulan. Selama hidup ditengah-tengah dunia ini,  beragam masalah bisa menimpa siapa saja. Baik anak kecil sampai kepada orang dewasa. Entah itu orang kaya atau orang miskin, yang namanya masalah dapat saja muncul. Oleh karena itu, kita membutuhkan pertolongan.
Namun persoalannya, disaat-saat kita membutuhkan pertolongan Tuhan, kita merasa Tuhan jauh dan membisu. Hal ini tentu membuat kita menjadi putus asa. Kita menjadi kehilangan pengharapan oleh karena sepertinya masalah yang kita hadapi semakin berat.
Pergumulan seperti itulah, juga yang dirasakan oleh pemazmur dalam Mazmur 42 ini. Kemungkinan besar pada saat itu, pemazmur dan bangsa Israel sedang dalam pe
mbuangan di Babel. Mereka tertekan dan ditindas oleh bangsa lain.
Hal inilah yang menyebabkan pemazmur sangat menderita dan mengalami tekanan yang luar biasa. Sehingga dalam keadaan seperti itu pemazmur merindukan untuk bertemu dengan Tuhan. Melalui Mazmur 42 ini, ia meratap. Oleh karena itulah Mazmur 42 ini juga dikenal sebagai mazmur ratapan.  Pemazmur merindukan, Tuhan memulihkan keadaan mereka. Pemazmur merindukan Tuhan mengangkat mereka kembali. Dari bangsa yang terbuang dan diperbudak menjadi bangsa yang merdeka dan besar kembali.
Dalam mengungkapkan kerinduannya, tentang kasih dan kemurahan Tuhan, pemazmur menggambarkan jiwanya seperti seekor rusa yang merindukan air.
Dalam ayat 2 dikatakan:  “Seperti rusa yang merindukan sungai yang berair, demikianlah jiwaku merindukan Engkau, ya Allah” .
Pemazmur menggambarkan dirinya dengan seekor rusa yang mengembara di bukit-bukit yang terjal. Rumput telah menjadi layu dan kering. Sungai sungai juga, oleh karena musim kemarau telah menjadi kering. 
Dalam kondisi yang demikian, tidak ada kebutuhan lain, selain mendapatkan sungai yang berair. Ia sadar, tanpa air hidupnya akan berakhir. Itulah pelukisan jiwa yang dilanda kerinduan untuk bertemu dengan Allah. Pemazmur ingin menggambarkan bagaimana perasaannya yang betul-betul rindu akan hadirat Tuhan.
Ratapan kerinduannya akan Allah diungkapkan lebih lanjut dengan berkata “jiwaku haus kepada Allah, kepada Allah yang hidup, bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (ayat 3). Kita melihat bagaimana pemazmur melukiskan kerinduannya dengan pernyataan yang menggugah. “Jiwa pemazmur yang haus” dibandingkan dengan “Allah yang hidup.”
Saudara-saudara yang terkasih,
Perkataan “Allah yang hidup” melukiskan bahwa Allah adalah Pribadi yang hidup, yang berbeda dengan ilah-ilah lain. Pemazmur sadar, tanpa Allah yang hidup, dirinya pastinya akan binasa. Dari sini kita terlihat bahwa Allah diyakini sebagai sumber kehidupan. Pemazmur sangat bergantung kepada Allah.
Saudara-saudara yang terkasih,
Ditengah-tengah keadaan seperti itulah  ia bertanya, “Bilakah aku boleh datang melihat Allah?” (ayat 3)   Ini merupakan suatu pertanyaan yang lahir karena kebutuhan yang sangat mendesak, yang selama ini terpendam karena kerinduan, kini ia berharap untuk bertemu walaupun hanya sejenak.
Pemazmur akan puas bila ia diperbolehkan datang melihat Allah atau dengan kata lain datang menghadap di hadirat Tuhan…di Bait suci dimana Tuhan hadir di tengah-tengah umatNya.
Dulu, mereka memang pernah mengabaikan Allah. Mereka tidak peduli kepada Allah. Mereka tidak menghiraukan firmanNya. Sekarang keadaannya, sepertinya sedang terbalik, dimana persekutuan dengan Allah adalah sebuah anugerah yang ingin pemazmur dapatkan.
Karena itu di ayat ke empat dia berkata: “Air mataku menjadi makananku siang dan malam, karena sepanjang hari orang berkata kepadaku: “Di mana Allahmu?” (ayat 4)
Saudara-saudara yang terkasih, pemazmur mengungkapkan “air mataku menjadi makananku siang dan malam.” Pemazmur menangis siang dan malam. Ia juga diejek dan dihina orang-orang yang tidak mengenal Allah, mereka berkata: “Di mana Allahmu?” Pertanyaan ini selalu diajukan orang yang tidak mengenal Allah seakan-akan mereka ingin berkata mana buktinya kalau Allah yang kamu percayai itu hidup. Kalau Dia hidup, pastilah Dia bisa membebaskanmu.
Saudara-saudara,
Kita bisa saja memiliki pengalaman seperti pemazmur. Kita ditanya dan bertanya “Dimanakah Engkau Allah”.
Kita merasa ditinggalkan oleh Alah. Kita mengeluh dan meratap, serta mengungkapkan keluhan-keluhan seperti pemazmur.  Tetapi, marilah kita jangan hanya meratap saja, marilah kita seperti pemazmur yang tidak hanya meratap, tetapi kemudian bangkit dan berkata pada ayat 5: “Inilah yang hendak kuingat, sementara jiwaku gundah gulana; bagaimana aku berjalan maju dalam kepadatan manusia, mendahului mereka melangkah ke rumah Allah dengan suara sorak-sorai dan nyanyian syukur, dalam keramaian orang-orang yang mengadakan perayaan” (ayat 5).
Saudara apa maksud dari perkataan pemazmur ini? Ternyata, pemazmur diingatkan kembali dengan Allah yang bertindak di masa lalu ditengah-tengah mereka.
Pemazmur tidak hanya terpaku dalam masalah dan persoalannya. Ia kembali menatap Allah dan mengarahkan hatinya kepadaNya. Ia berusaha bangkit dari perasaan mengasihi diri sendiri dan kembali percaya bahwa Allah tidak pernah meninggalkannya.
Walaupun doanya belum terjawab, walaupun permohonannya belum terpenuhi, dan keadaannya belumlah berubah, tetapi pemazmur sekarang memiliki iman bahwa Allah tetaplah Allah yang berkuasa. Berkuasa dahulu, sekarang dan selamanya. Karena itulah ia berkata di ayat kemudian: “Sebab aku akan bersyukur lagi kepadaNya, penolongku dan Allahku” (ayat 6b).
Pemazmur percaya akan pertolongan Tuhan. Sehingga inilah yang menyebabkan dia bersukaria dan bersyukur karena Allah telah bertindak untuk melepaskannya, menjawabnya dan menyelamatkannya. Bersyukur berarti mengaku percaya kepada  Allah dan memberitakanNya kepada orang lain agar merekapun turut bersukacita dan percaya kepada Tuhan.  Oleh karena itu, apapun yang terjadi, dan bagaimanapun kehidupan kita, marilah kita tetap mempercayakan hidup kita kepadaNya. Tetap memiliki hati yang haus bersekutu denganNya. Amin.