SADAR DAN
BERJAGA-JAGALAH
(1 Petrus 5:
6 – 11)
Surat Petrus
dilatarbelakangi kehidupan jemaat yang berat. Mereka menghadapi aniaya karena
iman kepada Kristus (1:6). Dalam keadaan seperti itu, perasaan khawatir tentang
masa depan pastilah nyata. Rasul Petrus mendorong mereka untuk menyerahkan
segala beban mereka kepada Tuhan dan meyakini bahwa Tuhan memelihara hidup
mereka (5:7, 10). Dengan sikap seperti ini, maka apapun penderitaan itu dan
seberat apapun juga, menjadi sarana orang beriman untuk mendekatkan diri kepada
Tuhan.
Namun sebaliknya
dapat terjadi. Penderitaan dapat menarik orang menjauh dari Tuhan. Penderitaan
dapat menimbulkan kepahitan karena merasa Tuhan absen dalam pergumulan hidup.
Dalam situasi seperti ini, si Iblis dapat mengambil kesempatan untuk
menghancurkan hidup orang Kristen. Dalam konteks inilah maka Rasul Petrus
memberi peringatan pada ay.8: “Sadarlah dan berjaga-jagalah! Lawanmu, si Iblis,
berjalan keliling sama seperti singa yang mengaum-aum dan mencari orang yang
dapat ditelannya.” Rasul Petrus mengajari kita beberapa hal dari ayat ini.
Pertama, Iblis
adalah lawan atau musuh. Ini realitas pertama yang harus disadari. Iblis bukan
sosok yang dapat dijadikan sahabat betapapun memikatnya daya tariknya. Rasul
Paulus memeringatkan bahwa penampilan Iblis seringkali tidak semenakutkan yang
kita pikir. Ia dapat tampil dalam sosok yang “baik”, menyamar sebagai malaikat
terang (2Kor 11:14). Kewaspadaan ini penting karena kejatuhan orang Kristen
dimulai dari sikap meremehkan si Iblis. Orang Kristen yang hidup di zaman
rasional cenderung meremehkan realitas rohani termasuk kuasa gelap yang terus
aktif bekerja.
Kedua, Iblis
adalah sosok yang berkuasa. Meskipun Iblis bukan sosok yang maha kuasa, tetapi
kuasanya tidak dapat dipandang remeh. Rasul Petrus menggambarkan Iblis seperti
singa. Singa adalah binatang buas dan kuat. Dalam cerita-cerita rakyat, ia
sering disebut sebagai raja hutan. Hanya mendengar aumannya saja, semua
binatang lain takut dan tunduk kepadanya. Singa tidak mengenal belas kasihan.
Ia akan menghabisi mangsanya tanpa ampun. Seperti itulah gambaran kejahatan
Iblis. Ia bukan musuh sembarangan. Betapa pun ia tampil manis, pada akhirnya ia
akan menelan sampai habis.
Berdasarkan
kedua kebenaran ini, maka Petrus memberi nasihat.
Pertama,
sadar dan berjaga-jaga. Istilah “sadar” artinya dapat menguasai diri, tidak
mabuk, tidak terlena. Sedangkan “berjaga-jaga” artinya memberi perhatian yang
sungguh agar jangan sampai tertimpa malapetaka. Besar kemungkinan Petrus ingat
akan pengalamannya sendiri di taman Getsemani ketika ia tertidur pada saat
Tuhan Yesus bergumul dengan hebat.
Ada dua
kecenderungan orang Kristen masa kini. Kelompok pertama sangat “sensitif”
terhadap pekerjaan Iblis. Apa-apa, sedikit-sedikit dikaitkan dengan Iblis.
Iblis selalu menjadi biang kerok dan tertuduh dalam setiap perkara jahat.
Setiap kegagalan hidup pastilah pertama-tama Iblis yang ditunjuk sebagai
penyebabnya. Kelompok kedua sebaliknya. Mereka rasional. Fenomena dunia roh
dianggap perkara usang. Kejatuhan dalam dosa dianggap kegagalan diri sendiri.
Si Iblis jarang terlibat dalam pergumulan hidup. Kedua kelompok ini punya
persoalan yang sama. Meskipun kelompok pertama kelihatannya “sensitif” terhadap
kuasa roh jahat, tetapi tidak otomatis mereka lebih sadar dan berjaga-jaga.
Sikap “sensitif” itu lebih pada sikap melemparkan tanggung jawab kegagalan diri
pada pihak lain dan bukan memperkuat diri agar tidak jatuh ke dalam jerat
Iblis. Kelompok kedua meremehkan realita giatnya dan kuatnya karya si Iblis
sehingga mereka juga tidak sadar dan berjaga-jaga. Ketika pencobaan menyerang,
mereka kalah karena menganggap perkara iman itu “take it for granted.” Sekali
selamat, tetap selamat. Allah pasti pelihara. Suatu keyakinan yang berat
sebelah.
Nasihat Petrus
yang kedua
adalah lawan si Iblis dengan iman yang teguh. Lawan artinya menetapkan sikap
yang tegas untuk menghadapi. Lawan artinya tidak membiarkan diri menyerah
begitu saja, tetapi aktif melakukan sesuatu untuk menang. Dalam hal ini, Petrus
menambahkan iman sebagai senjata. Dari konteks kita memahami bahwa iman dalam
hal ini adalah senjata untuk menyerang. Paulus mengatakan hal yang serupa dalam
Efesus 6:16 tetapi ia menyebutnya “perisai iman.” Perisai berfungsi sebagai
alat pelindung, alat pertahanan diri. Dari kedua ayat itu kita dapat
menyimpulkan pentingnya iman sebagai senjata menyerang sekaligus sebagai
senjata mempertahankan diri. Petrus menambahkan kata “teguh” dalam arti kokoh,
keras. Jika iman dianggap sebagai pedang, ia harus merupakan pedang yang kuat,
tidak mudah patah.